Kemarin sore sekitar pukul 3 sore, tanggal 6 April 2009. Saat aku sedang berada di depan computer kantor , pintu ruangan terbuka. Rupanya messenger kami bernama Pak Abdul baru saja tiba dari tugasnya mengirimkan dokumen ke salah satu leasing yang ada di Jl. Dr. Djunjunan Bandung. Hujan deras sedang mengguyur kantor kami di jalan Abdurahman Saleh. Seperti biasa, setelah mengantar dokumen Pak Abdul menyerahkan beberapa tanda terima kepada kami (aku dan teman kerjaku Fitri), sambil terkadang bercerita tentang pengalaman yang dia lalui saat mengantar dokumen. Ia bercerita bahwa ada pesawat yang terbakar di hangar Lanud Husein Sastranegara. Jalan sepanjang hangar ini memang terkadang dilewati untuk kendaraan umum yang berasal dari jalan Pasteur atau yang akan menuju jalan Pasteur dari jalan Padjadjaran, karena track jalan ini terhitung pendek dan tidak macet. Berbeda dengan jalan yang umumnya kita lewati yaitu Jalan Pajajaran - Pasirkaliki.
Ketika Pak Abdul menceritakan kejadian itu, kami sama sekali tidak merasa penasaran dengan berita tersebut. Kami kira itu hanya insiden biasa. Hingga saat aku hendak pulang, aku melongok berita di televisi sejenak. Ternyata kejadian tersebut cukup membuat sebagian besar media yang beberapa waktu yang lalu memberitakan bencana Situ Gintung mengalihkan fokusnya ke tragedi Fokker 27. Saat itu jumlah korban belum diketahui dengan pasti, karena pihak TNI AU masih dalam proses evakuasi dan penyelidikan. Terakhir diberitakan seluruh penumpang dan awak pesawat tewas sebanyak 24 orang. Terdiri atas 6 awak dan 18 paskhas dan siswa diklat para lanjut Tempur TNI AU. Dikabarkan pula bahwa ke-24 awak dan penumpang pesawat itu sedang dalam misi penerjunan.
Aku agak sedikit heran, kenapa kami yang berada tidak jauh dari tempat kejadian tidak merasa mendengar adanya suara tabrakan atau adanya kesibukan terjadi. Bahkan jalan abdurahman saleh yang dekat dengan gerbang pangkalan Lanud Husein pun tidak terlihat adanya kemacetan. Memang, sebagaimana diberitakan di media, informasi mengenai detail kecelakaan itu sangat tertutup. Kemudian proses evakuasi terhitung cepat dilaksanakan. Wallahu a’lam.
Akibat adanya kecelakaan tersebut, aku jadi terkenang akan masa kanak-kanakku 18 tahun yang lalu. Mungkin aku perlu berbangga hati. Aku sempat menaiki salah satu pesawat Fokker milik TNI AU, bersama adikku Zaky. Kesempatan itu kami berdua dapatkan karena bapakku dahulu bekerja sebagai karyawan PNS TNI AU di Lanud Sulaiman. Bapakku mungkin tidak dapat memberikan kami tiket pesawat terbang untuk berlibur ke tempat-tempat asyik, tapi dengan kesempatan yang diberikan kepada kami ini, aku sendiri merasa istimewa.
Saat itu malam hari. Kami lepas landas dari Lanud Husein Sastranegara. Pesawat Fokker mengangkut satu kelompok siswa taruna TNI AU untuk latihan terjun. Mungkin tujuannya hampir sama dengan pesawat Fokker yang jatuh kemarin. Rasanya takjub sekali karena itu kali pertama kami naik pesawat. Apalagi saat taruna satu persatu diturunkan. Berbeda dengan kami yang saat itu merasa takjub, mungkin para taruna malah merasa deg-deg an. Aku lihat, sebelum seorang taruna terjun, para pelatih memastikan mental mereka dulu dengan membiarkan mereka berdiri di bibir pintu pesawat dan melihat ke bawah. Sungguh menegangkan. Baru setelah siap, mereka terjun satu persatu. Adikku yang penasaran melihat proses itu, menggeser posisi duduknya agak ke tengah. Melihat hal itu, bapakku menariknya ke tepi, tepat di bagian belakang dekat pilot. Kalau ia duduk agak ke tengah, takutnya ia tersedot ke luar.
Aku jadi berpikir, apa naiknya kami ke pesawat Fokker itu melanggar aturan atau tidak ya? Nah, kalau saja terjadi kecelakaan seperti kemarin, dan kita berada di dalamnya, apa tidak akan menjadi pembicaraan di media massa? Sekali lagi. Wallahu a’lam.