Tuesday, October 7, 2008

Keponakanku meneriakkan “doggy word”

Aku tidak perlu menjabarkan apa itu doggy word. Kita sudah mafhum tentu saja dengan “doggy word”. Bagi yang belum faham…. Please,deh! Kata tsb aku dengar kemaren pagi waktu kakak dan kakak iparku atau ibu dan ayah dari anak keponakanku pergi kerja. Seperti anak kecil pada umumnya, setelah seminggu terakhir melewatkan waktu bersama ortu-nya, sulit sekali untuk berpisah dengan mereka. Aku yang saat itu sedang ada di rumah, tidak berangkat kerja karena sakit gara-gara insiden sabtu kelabu, dimintai tolong oleh kakakku supaya menggendong keponakanku yang pagi itu tidak mau berpisah dengannya.
Seperti biasa, ia sangat sulit untuk dibujuk olehku (Oh, my God..am I such a terrible aunty? ). Hingga saat kakakku akan berangkat, pegangannya sulit untuk dilepaskan, dan aku mengerahkan daya sekuat tenaga untuk melepaskan pegangannya. Akhirnya pecahlah tangis keponakanku dan di antara tangisannya terdengar “doggy word”. Aku terkejut dan berusaha menenangkannya, tanpa peduli dia berusaha mencarut mukaku, dan membawanya ke dalam rumah. Akhirnya ia diam setelah pindah ke pangkuan ayahku yang saat itu akan pergi. Barangkali ia mengira akan diajak oleh ayahku untuk menyusul ayah dan ibunya.
Aku tidak ingin menyalahkan siapapun jika kata-kata itu terlontar dari bibirnya, karena kata itu juga bukan kata yang sering dia ucapkan, entah ia dapatkan darimana. Yang menyedihkan aku adalah kemarahan dia yang besar, karena ditinggalkan oleh orang tuanya untuk bekerja. Kata-kata tersebut muncul dari kemarahan dia yang mendalam.
Keadaan ini menjadi dilematis, satu sisi tugas ibu yang seharusnya berada di rumah untuk mengasuhnya tidak dapat dipenuhi dengan sempurna karena harus bekerja membantu sang ayah demi berjalannya lembaga rumah tangga. Ada yang berpendapat, bahwa ibu seharusnya berada di rumah mengasuh anak, itu betul. Tapi juga, para ibu sepertinya harus siap juga jika memang bekerja di luar rumah adalah sebuah kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan.
Aku sendiri saat ini, apabila diminta oleh suami untuk tidak berhenti dari pekerjaan yang sedang aku jalani akan berpikir dua kali untuk berhenti. (Tuh..kaaaan). Entahlah, saat ini aku merasa berat hati. Bagaimanapun menurutku, walaupun sebagai ibu rumah tangga, aku ingin sekali berkarya menghasilkan sesuatu, dan tidak ingin terlalu bergantung kepada suami. Apa ini sebuah keegoisan? Apakah oleh sebab itu Allah belum menunjukkan bahwa aku telah pantas mendapat seorang pendamping hidup. Allahu a’lamu bishowab.